oleh: Jalaluddin Rakhmat
“Meskipun kebanyakan manusia disibukkan oleh aktifitas hidup yang rutin dan upaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, yang karenanya mereka tidak terlalu memperdulikan masalah-masalah spiritual, sebenarnya di dalam diri manusia terdapat dorongan fitrah untuk mencari Realitas Tertinggi. Pada orang-orang tertentu, dorongan yang tidur dan bersifat potensial ini terbangun dan mewujudkan dirinya sendiri secara terbuka. Inilah yang kemudian mengantarkan mereka pada serangkaian proses penyempurnaan spiritual”.
Setiap orang percaya adanya realitas abadi meskipun masih ada pendapat orang-orang sophis dan skeptis yang menganggap bahwa kebenaran dan realitas hanyalah ilusi dan khayalan. Kadang-kadang, ketika seseorang menyaksikan dengan pikiran yang terang dan jiwa yang suci, Realitas Abadi itu akan nampak meliputi alam semesta dan seluruh makhluk; dan pada saat yang sama, dia akan menyaksikan kesementaraan dan kefanaan elemen-elemen dan bagian-bagian alam ini. Dia mampu merenungi alam dan fenomenanya seperti cermin yang menampakkan bayangan keindahan realitas abadi. Kenikmatan dalam pemahaman realitas ini mengalahkan keindahan-keindahan lain di mata yang melihatnya, bahkan membuat segala sesuatu yang lain menjadi tidak penting dan tidak berarti.
Penyaksian ini sama dengan “ketertarikan ilahiah” (jadhbah) di kalangan kaum gnostik yang mengalihkan perhatian orang yang memusatkan dirinya kepada Tuhan semata, untuk berpaling ke alam transenden dan menghidupkan kecintaan kepada Tuhan di dalam hatinya. Karena ketertarikan ini, dia melupakan apapun yang lain. Seluruh keinginan dan harapannya yang beraneka macam hilang dari pikirannya. Ketertarikan ini membimbing manusia pada pemujaan dan pemujian Tuhan Yang Tak Nampak, yang dalam realitas justru lebih terang dan lebih jelas dibandingkan segala sesuatu yang bisa dicapai oleh indra penglihatan dan pendengaran. Ketertarikan batin seperti inilah yang sebenarnya dibawa oleh agama-agama di dunia, yakni agama-agama yang didasarkan pada pemujaan kepada Tuhan.[1]
‘Allamah Thabathaba’i, seorang filosof dan mufasir berpengaruh di kalangan mazhab ahlul bait, menjelaskan di dalam kutipan di atas apa yang kita defenisikan di kalangan akademisi saat ini sebagai “pengalaman mistis”, “pengalaman spiritual”, atau sederhananya “pengalaman religious”. Bagaimana kita bisa mencapai kebahagiaan spiritual ini? Menurut Thabathaba’i, Anda tidak mencapainya. Anda hanya membuka “sebuah alam realitas baru” yang sebelumnya terhijabi. Anda membangunkan hati Anda melalui penyempurnaan ruh, pensucian jiwa, atau setidaknya dengan penjernihan pikiran Anda. Anda berikhtiar untuk memalingkan perhatian Anda dari aktifitas dan kebutuhan sehari-hari kepada dorongan fitrah, yakni dorongan untuk mencari Realitas Tertinggi.
“(Tapi) Anda tidak perlu melakukan itu”, kata ahli syaraf, sekelompok orang yang menghabiskan hidupnya untuk mempelajari masalah otak, yang secara teknis disebut sebagai sistem syaraf. “Anda bisa sampai pada pengalaman mistis seperti itu ketika otak Anda mengalami kerusakan!” Hal itu terjadi pada Dr Jill Bolte Taylor, seorang ahli anatomi syaraf, pada tanggal 10 Desember 1996. Salah satu pembuluh darah di dalam otaknya pecah dan dia mengalami stroke pada waktu itu. Dia menyebut kejadian itu “stroke saya yang mencerahkan” (my stroke of insight). Presentasinya yang hanya 18 menit membuat hadirin terkagum-kagum pada konferensi TED di Monterey, CA, tanggal 27 Pebruari 2008 ketika dia menceritakan kejadian itu dengan cara yang sangat teatrikal – tepatnya dengan gaya puitis.[2]
Di pagi hari ketika stroke itu terjadi, saya bangun dengan rasa sakit yang sangat menyiksa di belakang mata kiri saya. Rasa sakitnya itu aneh, menusuk, seperti halnya jika Anda mengigit es krim. Sakitnya mencengkeram lalu melepaskan saya. Sakitnya mencengkeram saya lagi, lalu melepaskan saya kembali. Sebenarnya saya jarang merasakan rasa sakit, makanya saya berpikir tidak ada masalah dan saya akan memulai aktifitas rutin saya lagi. Lalu saya bangkit dan melompat ke atas cardio glider saya, sebuah mesin untuk latihan pisik secara keseluruhan. Dan selanjutnya saya terperangkap dalam suatu keadaan yang benar-benar lain. Saya lalu sadar bahwa kedua tangan saya terlihat seperti kuku-kuku makhluk primitif yang mencengkeram bar pegangan cardio glider. Saya berpikir “ini benar-benar luar biasa”. Saya kemudian memandangi bagian bawah tubuh saya dan berpikir, “wow, saya adalah sesuatu yang nampak aneh”. Saat itulah kesadaran saya seolah-olah berpaling dari persepsi normal saya tentang realitas; saya adalah seseorang yang merasakan suatu pengalaman di atas sebuah mesin, berada di suatu ruang esoteris, dimana saya menyaksikan diri saya sendiri merasakan pengalaman ini…
Dan awalnya saya kaget menemukan diri saya sendiri berada di dalam suatu pikiran yang diam. Tetapi kemudian tiba-tiba saya tertarik oleh kekuatan energi di sekeliling saya. Dan karena saya tidak bisa lagi mengenali ciri-ciri tubuh saya sendiri, saya kemudian merasa sangat besar dan mengembang. Saya merasakan semua itu bersama dengan kekuatan energi tadi, dan betapa indahnya berada di tempat itu.
Dan tiba-tiba saja sisi kiri saya kembali normal dan mengatakan kepada saya, “hei, kita dapat masalah, kita dapat masalah, kita harus mencari bantuan”. Rasanya seperti, ya, ya, benar saya sedang dapat masalah, tetapi saya langsung kembali hanyut ke alam sadar dan saya dengan indahnya menyebut tempat ini sebagai Tanah La La. Disana benar-benar indah. Bayangkanlah bagaimana rasanya benar-benar terputus dari otak Anda lalu terhubung dengan dunia eksternal. Dan disinilah saya, di ruang dimana semua beban pikiran yang berhubungan dengan apapun yang saya lakukan, yang berhubungan dengan kerjaan saya, hilang semuanya. Saya merasakan badan saya lebih ringan. Dan bayangkanlah semua hubungan di dunia eksternal dan apa saja yang menjadi sumber beban yang berhubungan dengan itu semua, akan lenyap. Saya merasakan kedamaian. Bayangkanlah bagaimana rasanya kehilangan beban emosional yang sudah mendera selama 37 tahun! Saya merasa bahagia. Rasa bahagia itu indah – dan kemudian sisi kiri saya kembali normal dan mengatakan, “hei, kamu harus benar-benar serius, kita memerlukan bantuan”. Dan saya bepikir, “saya harus mendapatkan bantuan, saya harus fokus”. Maka saya kemudian keluar dari kamar mandi dan secara mekanis kemudian mengenakan pakaian. Selanjutnya saya berjalan di sekitar apartemen saya. Dan saya berpikir, “saya harus pergi ke tempat kerja, saya harus pergi ke tempat kerja, bisakah saya menyetir mobil? Bisakah saya menyetir mobil?”
Tetapi saya menyadari, “saya masih hidup! Saya masih hidup dan saya mencapai Nirwana. Dan jika saya sudah mencapai Nirwana sementara saya masih hidup, maka itu berarti semua orang yang masih hidup bisa mencapai Nirwana.” Saya menggambarkan suatu dunia yang diisi dengan orang-orang yang rupawan, tenang, penuh kasih sayang, dan cinta; yang mengetahui bahwa mereka bisa sampai ke tempat ini kapan saja. Mereka bisa memilih sesuai keinginan untuk melangkah ke sisi kirinya dan menemukan kedamaian ini. Saya lalu menyadari betapa pengalaman ini bisa menjadi karunia luar biasa, bagaimana stroke yang mencerahkan ini bisa menjadi cara kita memilih bagaimana menjalani hidup. Dan itulah yang memotivasi saya untuk bisa pulih kembali.”
Apa yang dipresentasikan oleh Dr Taylor sebagai “dunia yang diliputi orang-orang rupawan, tenang, penuh kasih sayang, dan perasaan cinta”, sama dengan yang dijelaskan oleh ‘Allamah Thabathaba’i sebagai “keindahan realitas abadi”. Anda memiliki dua alam realitas: dunia pisik dari keterputusan, keberagaman dan keterpisahan; dan alam spiritual dari keterhubungan, kemanunggalan dan penyatuan. Keduanya adalah bagian-bagian yang membentuk Anda seutuhnya. Anda sekarang hidup di alam yang pertama, tetapi Anda memiliki di dalam diri Anda “dorongan batin” untuk menemukan alam yang kedua. Andrew Newberg, seorang ahli syaraf terkenal menjelaskan, “setelah sembuh total, Dr Taylor mengatakan bahwa dia dapat dengan mudah berpindah dari dan ke sisi saintifik dan transenden otaknya. Pengalaman Dr Taylor ini mendukung pendapat bahwa kita semua memiliki kemampuan batin untuk mencapai dua bagian istimewa dari diri kita ini – sebuah pendapat yang didukung oleh riset kita tentang otak di Universitas Pennsylvania.[3]
‘Allamah Thabathaba’i memasukkan diskusi tentang pengalaman religius sebagai bagian dari penjelasannya tentang teologi Islam, menyebutnya sebagai salah satu dari tiga metode pemikiran keagamaan. Beliau menyebut pengalaman keagamaan tersebut sebagai “metode ketiga dari intuisi intelektual atau penyingkapan mistis”. Andrew Newberg mempelajari bagian-bagian otak sebagai dasar bagi adanya pengalaman religius dan kemudian melahirkan ilmu neurotheology. Saya tidak akan membahas masalah pertama dan menyerahkannya kepada pengkaji yang sudah akrab dengan subjek kajian mistisisme Islam. Tulisan ini akan lebih fokus kepada bagian kedua dalam pembahasan yang sederhana, dengan tujuan untuk memperkenalkan neurotheology kepada pemikir-pemikir Islam.
Daripada menyimpan kecemasan dan kecurigaan kepada neurotheology sebagai penodaan terhadap agama yang kita anut, akan lebih baik jika kita bisa melihatnya sebagai argumen pendukung terhadap pemahaman kita tentang pengalaman keagamaan. Pertama-tama, saya akan memberikan penelitian ringkas tentang perkembangan neurotheology, dengan lebih berfokus pada isu-isu tentang pengalaman religius berbasis otak. Dengan kata lain, kita akan melihat bagaimana para saintis mencoba menjawab pertanyaan: apakah otak yang menciptakan Tuhan? Selanjutnya, saya akan menjelaskan pertanyaan kedua: apakah Tuhan yang menciptakan otak?
Apakah Otak Yang Menciptakan Tuhan
Manusia pada zaman kuno menemukan penyakit yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman supranatural, kesurupan, atau hal-hal yang bersifat ilahi. Saat ini kita menyebut penyakit tersebut epilepsi. Orang-orang dari zaman kuno itu percaya bahwa penderita penyakit tersebut kemungkinan disebabkan oleh dua hal: diserang oleh setan dan jin, atau disentuh oleh tangan ilahi. Hipokrates (460 – 377 SM), Bapak kedokteran, menolak pendapat ini dan mengatakan bahwa penyakit tersebut “tidak lebih ilahi dan tidak lebih suci dibanding penyakit-penyakit lainnya”. Penyakit tersebut mempunyai sebab alami yang terdapat di dalam otak manusia. Di dalam karyanya yang terkenal “Tentang Penyakit Suci”, Hipokrates menulis komentar tentang psikiatri syaraf yang terpenting sepanjang sejarah[4]:
“Manusia harus mengetahui bahwa dari otak, dan hanya dari otak saja, lahir semua perasaan bahagia, kenikmatan, tawa dan canda; demikian juga perasaan duka, sakit, kesedihan, dan air mata… dan melalui organ yang sama, kita bisa menjadi gila dan lupa daratan, memiliki rasa takut dan kengerian yang mengganggu kita.”
Selama berabad-abad, mereka menyebut epilepsi sebagai penyakit suci, morbus divinus, morbus deificus (diciptakan oleh Tuhan), morbus coalestis (penyakit dari langit), morbus astralis (penyakit yang disebabkan oleh bintang), morbus lunaticus (penyakit yang disebabkan oleh bulan). Dan pada masa Pencerahan-lah epilepsi tidak dihubungkan lagi dengan dosa dan pelanggaran hukum, juga tidak berhubungan dengan karunia dan pemberian Tuhan. Setelah masa ini, dokter kemudian meneliti epilepsi sebagai gangguan otak. Untuk tujuan ini, psikiatri syaraf kemudian lahir sebagai satu cabang ilmu yang menggabungkan antara neurologi (ilmu tentang syaraf dan penyakit-penyakitnya) dan psikiatri (ilmu yang mempelajari tentang pikiran dan masalah-masalahnya). Mereka juga menemukan hubungan antara epilepsi dan agama. Beberapa psikiater bahkan bergerak lebih jauh dan membuat hipotesa bahwa tokoh-tokoh agama yang besar seperti Rasul Paul, Joan dari Arc, Theresa dari Avila (mereka bahkan menyebut Nabi kita Muhammad Saw), telah menderita penyakit yang disebut temporal-lobe epilepsy (TEL) atau epilepsi lobus temporer.
Tidak lama setelah itu, di akhir abad 19, para peneliti pengalaman religius mengidentifikasi orang-orang yang memiliki pengalaman ilahiah yang bukan disebabkan oleh epilepsi atau kerusakan otak. Lebih dari seratus tahun yang lalu, William James menjelaskan “Agama dan Neurologi” di dalam ceramah pertamanya di Glifford, yang kemudian diterbitkan dengan judul The Varieties of Religious Experience (buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Mizan tahun 2004 dengan judul Perjumpaan Dengan Tuhan, Ragam Pengalaman Religius Manusia, pent.). James menguji kondisi kognitif pikiran religius yang sehat. Beliau mengindikasikan bahwa daerah tertentu di otak mempunyai pengaruh di dalam pengalaman religius. Namun hal itu bukan berarti bahwa otak lah yang menciptakan agama. Juga bukan berarti bahwa pengalaman religius disebabkan oleh gangguan atau kerusakan pada otak. Karena teknologi untuk meneliti otak pada saat itu masih belum berkembang, James belum bisa mengembangkan neurologi yang berhubungan dengan pengalaman religius. Beberapa aspek dari pengalaman religius seperti yang dijelaskan oleh James, telah ditelusuri lebih jauh di berbagai disiplin ilmu seperti psikologi, antropologi, dan sosiologi. Hanya saja, penelitian James di dalam neurologi tidak terlalu diperhatikan hingga tahun 1970.[5]
Pada tahun 1970, penelitian James di dalam neurologi yang berhubungan dengan pengalaman religius direspon dengan menarik oleh sebuah kelompok psikiater syaraf yang meneliti orang-orang yang mengalami obsesi religius yang hebat, yang sekali lagi, berasal dari pasien dengan TEL. Awal tahun 1980, Michael Persinger menulis dan menerbitkan artikel yang berhubungan dengan pengalaman religius dan aktifitas otak.[6] Belakangan, Persinger menulis buku tentang psikologi syaraf yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan religius. Beliau menunjukkan bahwa pengalaman religius disebabkan oleh ketidaknormalan elektris singkat di dalam lobus temporer. Setiap orang bisa merasakan pengalaman dengan Tuhan karena lobus temporer itu telah mengembangkan caranya sendiri untuk mencapai kondisi itu. Pengalaman dengan Tuhan pada dasarnya adalah artefak biologis pada otak. Persinger mengikuti mayoritas saintis yang berpendapat bahwa otak yang menciptakan Tuhan. Persinger bersikeras bahwa stimulus yang berbeda-beda di dalam setting pengalaman religius seperti musik, ayunan dan tarian, wewangian yang repetitif, dapat memantik kondisi lobus temporer yang pada akhirnya menciptakan pengalaman tentang Tuhan. Sayangnya, Persinger tidak memberikan bukti saintifik atas hipotesisnya. Beliau juga tidak menyediakan data empiris bahwa keyakinan terhadap Tuhan adalah “suatu virus kognitif” dan angan-angan.
Rhawn Joseph melanjutkan hipotesis Persinger dengan meletakkan fondasi pengalaman religius dan spiritual pada struktur sistem limbik (otak) – amygdala, hippocampus, dan lobus temporer inferior. Struktur otak ini yang juga berpengaruh pada seksualitas, rasa marah, dan perlakuan yang sadis. Joseph ingin mengatakan bahwa orang-orang religius cenderung kepada kekerasan, gangguan seksual, dan pembunuhan. Namun, Joseph mengakui anggapan yang masuk akal bahwa otak mungkin berkembang karena terdapat dunia spiritual dimana sistem limbik mungkin berhubungan dengan Tuhan, bahwa “pemancar Tuhan” ini (merujuk kepada sistem limbik) mungkin saja bertahan karena memiliki hubungan dengan realitas spiritual.[7]
Joseph telah dikritik karena penjelasannya yang reduksionistik. Ide yang cukup terkenal tentang lokalisasi otak – seperti halnya otak kanan dan otak kiri, atau fungsi-fungsi khusus pada bagian otak tertentu – menafikan fakta bahwa otak bekerja sebagai satu kesatuan, bukan sebagai modul-modul yang bebas dan tak berhubungan satu sama lain. Kritik ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Carol Albright, juga telah digunakan untuk “mengoreksi” asumsi Dr Jill Bolte Taylor. Ketika memisahkan otak kiri dan otak kanan, Taylor sedang menceritakan suatu metafora ketimbang memberikan bukti saintifik. Taylor tidak menjelaskan sains; dia sedang membaca puisi. Oleh karena itu, menurut Albright, sistem limbik bukanlah struktur “modul Tuhan” yang tunggal, atau “pemancar Tuhan”. Otak bekerja sebagai hasil dari interkoneksi yang kompleks dari area-area yang terdapat di otak. Karenanya, otak secara keseluruhan terlibat di dalam pengalaman religius atau pengalaman dengan Tuhan. Praktik-praktik keagamaan mungkin bisa mengontrol otak reptil dengan memberikan petunjuk di dalam sikap seksual dan kekerasan. Otak mamalia memberikan emosi dan daya ingat, serta membantu kita untuk membangun hubungan yang bermakna dengan Tuhan. Akhirnya, kita sampai pada bagian terpenting pada otak: korteks serebral. Inilah bagian otak yang memiliki daya pikir[8]:
Melingkupi dua bagian otak terdapat korteks serebral yang menyediakan apa yang sebagian besar orang anggap sebagai ciri khas manusia, termasuk bahasa. Korteks serebral juga adalah area dimana banyak informasi yang diproses di bagian-bagian otak yang lain, disatukan dan diolah sehingga kita bisa membuat keputusan dan penilaian. Pengalaman religius akan melibatkan semua area ini: pengalaman mistis, cinta dan kekerabatan, sistim limbik, berbagai jenis ritual, otak reptil, serta ketajaman dan pemahaman terhadap panggilan dari Tuhan, korteks serebral (misalnya, lobus frontal)..
Persinger, Joseph, Albright, telah mencoba untuk mengidentifikasi dimana letak “Titik Tuhan” di dalam otak sebagai fondasi neurotheology. Lebih spesifik, mereka telah memulai setengah bagian pertama neurotheology yang mencapai kesimpulan bahwa “otak yang menciptakan Tuhan”. Kembali ke Dr Jill Bolte Taylor, mereka telah mempelajari bagian pertama dari pencerahan Taylor tentang stroke. Mereka menemukan bahwa “alamat” pengalaman religius terdapat pada sisi kanan otak Anda. Hal itu juga menjadi kesimpulan dari “pencarian tak berujung akan pengetahuan tentang Tuhan” dari para ateis tulen, seperti yang direpresentasikan oleh Mathew Alper[9]:
Satu hal yang saat ini saya bisa katakan tentang kepastian empiris Tuhan adalah bahwa Tuhan itu hanyalah satu kata; yang sebagaimana semua kata, ia lahir dari dalam otak manusia. Hal ini berarti satu-satunya fakta yang saya miliki sekarang tentang sifat keberadaan Tuhan, tidak datang dari sesuatu yang saya pahami dari atas, dari “di luar sana”. Tetapi ia justru datang dari sesuatu yang lahir dari dalam. Lebih spesifik, dari hasil kerja organ pisik saya, otak – dan bukan hanya otak saya saja, tetapi dari semua otak dari hampir semua orang dari setiap budaya sampai masa awal kelahiran spesies saya.
Sampai disini bukanlah akhir pencarian ini. Bagian ini baru setengah perjalanan. Memang, ini adalah perjalanan panjang sejak dari zaman dahulu kala. “Untuk mengevaluasi latar belakang historis neurotheology, kita harus mempelajari sejarah beberapa ribu tahun yang lalu untuk melihat bagaimana tradisi religius telah mempertimbangkan adanya hubungan antara pikiran dan usaha seseorang untuk berinteraksi dengan beberapa realitas yang lebih tinggi,”[10] demikian tulis Andrew Newberg, salah seorang pendiri disiplin ilmu baru yang disebut neurotheology. Beliau masih menulis disiplin ilmu baru ini dalam tanda petik, sebagaimana yang beliau katakan ketika memberikan defenisi: “’Neurotehology’ adalah bidang studi dan riset yang unik yang mencoba untuk memahami hubungan, yang secara spesifik antara otak dan teologi, dan secara luas antara pikiran dan agama.”[11]
Terdapat dua jenis hubungan tersebut: bagian pertama adalah bagaimana otak menciptakan Tuhan, dan bagian kedua adalah bagaimana Tuhan menciptakan otak. Di dalam istilah kita sekarang: bagaimana otak membentuk pengalaman religius dan bagaimana pengalaman religius memiliki pengaruh terhadap otak. Andrew Newberg melaporkan bagian kedua dari studi tentang otak di dalam karya best-seller-nya, How God Changes Your Brain.
Apakah Tuhan Menciptakan Otak?
Mathew Alper mengakhiri pencariannya pada terminal “Tuhan Diciptakan di dalam Otak”. Dan Newberg-lah yang menggerakan lokomotif neuorologi untuk sampai ke terminal kedua “Otak Diciptakan oleh Tuhan”. Newberg dan teman-temannya tidak lagi mempelajari pengalaman religius pada pasien yang mengalami gangguan otak, yakni penderita epilepsi, atau orang-orang yang “tidak normal”. Mereka telah meneliti orang-orang yang secara luas dikenal sebagai orang-orang saleh – para penganut ajaran Budha dan biarawati Fransiscan. Mereka didukung teknologi terbaru untuk penelitian otak. Mereka telah mempelajari bagaimana konsep yang berbeda tentang Tuhan bisa mempengaruhi pikiran manusia. Mereka mempunyai hasil pindaian otak dan menggambarkan perubahan neurologis pada biarawati Fransiscan saat mereka larut dalam kehadiran Tuhan, serta pada rahib Budha saat mereka berkontemplasi tentang alam semesta. Mereka telah menyaksikan apa yang terjadi di dalam otak ketika Pantekosta mengundang ruhul kudus untuk berbicara kepada mereka melalui ucapan. Selanjutnya, mereka akan melakukan studi yang lebih luas untuk mempelajari tradisi sufi dan penganut-penganut mistik lainnya pada agama dan keyakinan yang lain.
Tidak mungkin untuk meringkas dan menyederhanakan hasil studi mereka di dalam artikel pendek ini. Untuk menghindari simplifikasi dan mungkin juga ketakakuratan yang berlebihan, saya hanya akan menuliskan dua hasil penting yang keduanya akan merubah pandangan kita tentang pengalaman religius berbasis otak. Pertama, mereka menolak model “patologi” dari pengalaman religius. Pengalaman spiritual yang murni tidak disebabkan oleh kerusakan pada otak, tidak juga disebabkan ketenangan jiwa karena pengaruh obat-obatan.
Kami tidak percaya bahwa pengalaman mistis yang sejati bisa dijelaskan sebagai hasil dari halusinasi epilepsis, atau sebagai akibat halusinasi spontan karena pengaruh obat-obatan, rasa sakit, kelelahan pisik, tekanan emosional, ataupun gangguan pada indra. Secara sederhana, halusinasi, apapun sumbernya, tidak akan bisa memberikan pengalaman kepada pikiran sebagaimana yang bisa diyakini pada pengalaman spiritualitas mistis.[12]
Kedua, pengalaman religius yang sejati memperkuat jaringan syaraf yang berhubungan dengan kesadaran, empati, dan kesadaran sosial. Pengalaman ini juga memberikan kemampuan kepada kita untuk lebih penyayang, lebih toleran terhadap sesama, dan lebih menerima kekurangan dan keterbatasan. Konsekuensinya, orang-orang beriman yang merasakan pengalaman religius akan hidup lebih bahagia, lebih damai, dan lebih sehat secara pisik. Juga menarik untuk dicatat, bahwa dalam konteks neurologis, sebagaimana yang ditulis di sampul depan buku How God Changes Your Brain:
· Bukan hanya dengan melakukan ibadah dan praktik spiritual yang bisa mengurangi stress dan kecemasan, tetapi 12 menit melakukan meditasi per hari juga akan memperlambat proses penuaan.
· Merenungi Tuhan yang Maha Penyayang, dan bukan Tuhan yang Maha Penyiksa, akan mengurangi kecemasan, depresi dan stress. Pada saat yang sama, hal itu akan meningkatkan perasaan aman, kasih sayang, dan cinta kasih.
· Fundamentalisme, dalam pengertian yang sebenarnya, adalah sikap yang tidak berbahaya dan bisa jadi memberikan manfaat personal. Tetapi rasa marah dan prasangka yang lahir dari keyakinan yang ekstrim bisa merusak otak Anda secara permanen
· Ibadah dan meditasi yang intens secara permanen akan merubah banyak struktur dan fungsi di dalam otak – juga akan merubah nilai-nilai dan cara Anda dalam memahami realitas.
Kita telah melampaui tempat dimana neurologi tak berTuhan berasal. Sekarang kita telah sampai pada maqam dimana kita menemukan bahwa Tuhan-lah yang menciptakan otak, bukan otak yang menciptakan Tuhan. Saya berpikir, inilah mungkin maqam yang dimaksudkan oleh Allah ketika Dia berfirman, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS 13:28)
[1] ‘Allamah Sayyid M.H. Tabatabai, Shi’ah. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sayyid Husayn Nasr. Qum: Ansariyan Publication., 2005, h. 131.
[2] Anda bisa mengakses teks pidatonya di link berikut http://www.ted.com/talks/jill_bolte_taylor_s_powerful_stroke_of_insight.html, diakses tanggal 15 januari 2011. Dia menulis best sellernya My Stroke of Insight: A Brain Scientist's Personal Journey. Viking, 2008
[3] Andrew Newberg dan M.R. Waldman, How God Changes Your Brain. New York: Ballantine Books, 2009, h. 59
[4] Michael R Trimble, The Soul in the Brain. Baltimore: the John Hopkins University Press, 2007, h. 134
[5] Patrick McNamara. The Neuroscience of Religious Experience. Cambridge: Cambridge University Press, 2009, h. 81
[6] Michael Persinger. Neuropsychological Bases of God Beliefs. New York: Praeger, 1987.
[7] Sebagai tambahan pada tulisan The Transmitter to God: The Limbic System, the Soul, and Spirituality. California: University Press, 2002, Rhawn Joseph juga mengedit Neurotheology: Brain, Science, Spirituality, Religious Experience. California: University Press, 2003.
[8] Kevin S. Seybold. Explorations in Neuroscience, Psychology, and Religion. Hampshire: Ashgate, 2007, h. 82
[9] Mathew Alper. The “God” Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality and God. Naperville, Ill: Sourcebooks, 2008, h. 60
[10] Andrew Newberg. Principles of Neurotheology. Burlington: Ashgate, 2010, h. 3
[11] Ibid, 1
[12] Andrew Newberg et al. Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine Books, 2001, h. 174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar