Rabu, 09 Februari 2011

Berlindung dari Akhir yang Buruk


oleh: Jalaluddin Rakhmat

Dalam kitab Tazkiyyatun Nafs, Pensucian Diri, karya Sayyid Kazhim Al-Hairi, dijelaskan bahwa mensucikan diri adalah keperluan yang sangat mendesak bagi setiap muslim sampai akhir hayatnya.
Ada beberapa prinsip dalam tazkiyyatun nafs. Pertama, pensucian diri itu harus berlangsung terus menerus. Kesempurnaan manusia adalah sesuatu yang tak terhingga. Ketika manusia mensucikan dirinya, ia sedang menjalani proses tanpa batas. Ia dapat mensucikan dirinya sampai pada tingkat yang tak terhingga. Seorang muslim tak boleh merasa cukup dengan proses pensucian dirinya. Kedua, karena pensucian diri adalah suatu perjalanan yang terus menerus, bila ada seseorang yang berhenti di tengah proses ini, ia akan jatuh kembali ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Kita mengenal istilah sû'ul khâtimah, akhir yang buruk. Istilah ini dipakai untuk menggambarkan orang yang berusaha keras untuk mensucikan dirinya lalu tiba-tiba ia berhenti. Ia telah merasa sempurna. Saat itulah ia jatuh ke tempat yang paling rendah. Lawan dari istilah ini ialah husnul khâtimah, akhir yang baik. Seseorang yang memperoleh husnul khâtimah adalah ia yang memulai perjalanan hidupnya dengan hal-hal yang buruk namun di sisa akhir hidupnya, ia merintis jalan kesucian.

Salah satu gangguan paling besar dan paling berbahaya ketika mendekati Tuhan adalah kepuasan diri (i'jâb). Merasa kagum akan kesucian diri yang telah dicapai. Ketika timbul perasaan inilah, seseorang kembali ke tingkat paling dasar.

Dalam Al-Quran, Allah swt berfirman: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. Dia diikuti setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki , sesungguhnya kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. Perumpamaan mereka seperti anjing, jika kamu menghalaunya, diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia mengulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. Al-A’raf; 175-176). Ayat ini bercerita tentang orang yang tengah menjalani proses pensucian diri lalu kemudian berhenti dan melepaskannya sehingga jatuh kepada kesesatan.

Beberapa mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang dalam ayat di atas adalah Bal'am bin Ba'urah, seorang ulama besar di zaman Bani Israil. Bal'am adalah seorang alim yang pernah mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah swt karena proses pensucian diri yang ia lakukan. Karena kesalihannya, ia dihormati orang banyak. Doa-doanya senantiasa diperkenankan Tuhan. Namanya masyhur di seluruh negeri. Reputasinya yang tinggi membuat Raja senang kepadanya dan memberikannya jabatan yang tinggi di pemerintahan. Suatu saat, ia disuruh Raja untuk mendoakan kaum Nabi Musa agar jatuh ke dalam kecelakaan dan Bal'am melakukannya.

Para ahli sejarah menyebutkan Bal'am jatuh kepada kesesatan karena silau akan kilatan dunia. Setelah melalui pembersihan diri sekian lama, dunia mengalir kepadanya. Ia menjadi orang terhormat yang memiliki banyak pengikut. Al-Quran menyebutkan: Dan kalau kami menghendaki , sesungguhnya kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. (QS. Al-A’raf; 175-176) Tuhan mengumpamakan ulama seperti Bal'am, yang mensucikan diri tetapi jatuh kepada kenikmatan dunia, sebagai seekor anjing.

Dalam ayat yang sama, Tuhan juga memerintahkan kita agar menyebarkan kisah ini, tentang orang-orang yang memulai hidupnya dengan kesalihan, dengan perjuangan untuk Islam, namun di akhir hidupnya ia mengalami perubahan yang drastis. Ia mengikuti ambisi-ambisi duniawi. Wajib bagi kita untuk menceritakan kisah ini. Allah berfirman: Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Begitu pentingnya kisah-kisah ini, sampai Allah menurunkan sebuah surat khusus dalam Al-Quran yang bernama surat Al-Qashash, Kisah-Kisah.

Sejarah Bal'am hanyalah satu kisah saja tentang orang yang berhenti mensucikan diri dan jatuh ke dalam sû’ul khâtimah. Masih ada kisah-kisah yang lain. Di antaranya kisah Iblis yang dikutip oleh Imam Ali dalam kitab Nahjul Balaghah (khutbah ke-191). Imam Ali bertutur: "Maka ambillah pelajaran tentang apa yang Allah lakukan kepada Iblis ketika Dia menghapuskan seluruh amalnya yang panjang dan segala kesungguhannya untuk beribadat dengan tekun. Iblis telah menyembah Allah enam ribu tahun lamanya, tidak diketahui apakah tahun dunia atau tahun akhirat. Tetapi ia jatuh karena dosa yang sesaat saja (yaitu dosa takabur, -red.).Lalu siapakah sekarang yang akan selamat dengan berbuat dosa seperti itu?"

Imam Ali seakan ingin mengingatkan bahwa Iblis saja yang telah beribadat ribuan tahun lamanya dapat terjerumus ke dalam jurang kesesatan, apalagi manusia yang sedikit amal salihnya. Kita tak boleh merasa aman dan tenteram dengan pensucian diri kita karena itu bukan jaminan bagi kita untuk memasuki surga. Imam Ali berkata, "Tidak akan sekali pun Allah memasukkan ke dalam surga seorang manusia yang melakukan perbuatan, yang perbuatan itu mengakibatkan Allah mengeluarkan dari surga seorang penghuni langit (yaitu Iblis, -red.)." Karena perasaan takaburnya, Iblis tak mau bersujud kepada Adam. Dan untuk itu Allah mengutuknya dan mengeluarkannya dari surga untuk selama-lamanya.

Masih dalam khutbah yang sama, Imam Ali berkata, "Allah tidak mungkin memberikan izin kepada seseorang untuk melakukan dosa tetapi Dia melarang orang lain untuk melakukan dosa yang sama." Allah tidak akan pernah mengistimewakan seseorang atau sebagian kalangan di antara umat manusia dalam hal berbuat dosa. Status istimewa sebagai keturunan dari orang-orang yang suci, misalnya, tidak membuat seseorang lantas menjadi boleh untuk berbuat maksiat. Menurut Imam Ali, tidak mungkin ada makhluk yang dikhususkan Allah sehingga perbuatan buruk yang dia lakukan, tidak Allah hitung sebagai dosa. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghindarkan diri dari maksiat.


Setiap maksiat yang kita lakukan adalah sebuah noktah hitam yang menodai kebersihan hati kita. Semakin banyak dosa yang kita lakukan, semakin gelaplah permukaan hati itu, sehingga semakin rendah pula tingkat kita dalam perjalanan pensucian diri
Kisah Iblis mengajarkan kepada kita akan kehati-hatian dan ketakutan kita akan sû’ul khâtimah, akhir yang buruk. Kita tak boleh sesaat pun berhenti dari proses pensucian diri. Kisah lainnya adalah tentang Muhammad bin Ali bin Bilal. Ia adalah sahabat Imam Hasan Al-Asykari as dan merupakan murid Imam yang terpercaya. Karena ia belajar langsung dari Imam, ia memiliki ilmu yang luar biasa. Begitu tingginya kedudukan yang telah ia capai, sampai para murid lain sering meminta fatwanya akan hal ihwal agama yang membingungkan.

Tetapi setelah itu, ia berhenti dalam tazkiyyatun nafs-nya. Ia cenderung kepada dunia dan ingin mempunyai pengikutnya sendiri. Muhammad bin Ali bin Bilal ingin memiliki jemaahnya sendiri yang besar. Ia tergoda akan fanatisme yang selama ini ia saksikan terhadap Imam. Karena sering melihat bagaimana orang memperlakukan Imam, ia juga ingin diperlakukan dengan penghormatan yang sama. Imam Hasan as lalu melepaskan diri darinya. Orang kemudian menganggapnya sebagai seorang murtad yang mendirikan sebuah sekte baru.

Imam Ali Al-Ridha as meriwayatkan ucapan Imam Ali kw, "Seluruh dunia ini tidak lain adalah kebodohan kecuali di tempat-tempat ilmu. Dan seluruh ilmu itu dapat menjadi hujjah yang mencelakakan (di hari akhirat nanti) kecuali bila ilmu itu diamalkan. Dan seluruh amal itu adalah riya kecuali yang dilakukan dengan ikhlas. Dan yang dilakukan dengan ikhlas pun berada di tepi bahaya yang besar sampai seorang hamba yakin akan akhir amal-amalnya."


Yang menentukan apakah kita berhasil dalam penyempurnaan diri adalah ujung amal-amal kita. Kita harus selalu berhati-hati agar tidak mengakhiri hidup kita dengan sû’ul khâtimah. Untuk berlindung dari hal itu, yang pertama harus kita lakukan adalah menghindari segala perasaan cukup akan kesucian diri. Kita tak boleh merasa puas dan harus senantiasa merasa bahwa kita belum mencapai apa-apa dalam perjalanan mendekati Tuhan. Jangan pernah sekali pun merasa diri yang paling benar dan menganggap orang lain sesat. Kedua, kita harus memandang tazkiyyatun nafs sebagai sebuah jalan tanpa ujung, proses tanpa batas. Setiap kali kita merasa cukup, ketahuilah bahwa kita belum cukup. Ketiga, kita mesti senantiasa merendah di hadapan Allah swt dan memohon kepada-Nya agar kita diberi husnul khâtimah, akhir yang baik. Permohonan ini seharusnya diucapkan dalam setiap doa yang kita panjatkan supaya Dia meneguhkan langkah-langkah kita.
Salah satu doa yang tak boleh kita tinggalkan itu saya kutip di bawah ini. Bacalah doa di atas dengan seluruh hati kita supaya kita terlindung dari sû’ul khâtimah;

Wahai Yang membolak-balikkan hati dan pandangan,
teguhkanlah selalu hatiku dalam agama-Mu.
Janganlah Kau gelincirkan hatiku setelah Kau berikan petunjuk kepadaku.
Curahkanlah kepadaku kasih sayang-Mu.
Sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi anugerah.
Lindungilah aku dari api neraka.
Ya Allah, panjangkanlah usiaku, luaskanlah rezekiku, taburkanlah padaku kasih sayang-Mu.
Jika aku pernah tertulis sebagai orang yang celaka, masukkanlah aku kepada kelompok orang yang beruntung dan bahagia karena Kau menghapus apa yang Kau kehendaki dan menetapkan apa yang Kau kehendaki, semuanya Kau tuliskan dalam ummul kitab....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar