Oleh: Jalaluddin Rakhmat
“Sa’ad bin Waqqash adalah sahabat Nabi saw. Telah bertahun-tahun ia buta dan tinggal di Mekah. Ia dikelilingi orang yang ingin didoakannya. Ia tidak mendoakan setiap orang; tetapi yang ia berkati dengan doanya merasa hidupnya lebih baik, urusannya lebih lancar.
Abdullah bin Sa’ad melaporkan: ‘Aku datang menemuinya. Ia baik sekali kepadaku dan mendoakanku. Waktu kecil, aku sering kali penasaran. Jadi aku bertanya kepada ayahku: Doa ayah untuk orang lain selalui diijabah. Mengapa ayah tidak berdoa supaya disembuhkan dari kebutaan? Sahabat itu berkata: Kepasrahan kepada kehendak Allah lebih baik dari kesenangan pribadi karena bisa melihat lagi.”
Saya berusaha mencari sumber kisah ini dalam kitab-kitab berbahasa Arab. Sampai sekarang belum juga saya temukan. Kisah itu saya baca dalam buku tulisan ahli sejarah Ernest Kurtz dan penulis Katherine Ketcham, The Spirituality of Imperfection. Di balik ketaksempurnaan, di belakang sakit atau musibat yang berkepanjangan ada spiritualitas. Orang Inggris punya peribahasa every cloud has a silver lining. Semua awan kelabu selalu ada garis-garis peraknya. Semua kegelapan ada titik cahayanya. Semua kekurangan ada makna ruhaniahnya.
Karena itu, Sa’ad memilih untuk tidak berdoa buat kesembuhan matanya. Ia menemukan dalam kebutaan itu kenikmatan kepasrahan kepada Allah. Kepasrahan total. Ia tahu bahwa di balik semua peristiwa ada rencana Ilahi yang tidak diketahuinya. Ia yakin bahwa kehendak Ilahi pasti lebih baik dari kehendaknya. Boleh jadi ia juga sudah mencoba berdoa agar matanya sembuh kembali. Tuhan tidak memenuhi doanya. Mungkin mula-mula ia meradang, ingin memaksakan kehendaknya. Tetapi dalam kesunyian dan perenungan, ia menemukan keindahan kepasrahan. “Sesungguhnya kepatuhan sejati di sisi Allah adalah kepasrahan.” (Ali Imran 19).
Memang, betapa seringnya kita berdoa untuk memaksakan kehendak kita kepada Tuhan. Kita memperlakukan Tuhan sebagai pembantu kita. Kita ingin Allah segera menyembuhkan penyakit kita, menyelamatkan anak kita, membalas dendam kita, menaikkan penghasilan kita, membayarkan utang-utang kita, mengisi jawaaban pada tes kita dan sebagainya. Bila Tuhan lambat menjawab, kita marah.
“Ustadz, mengapa doa saya tak berjawab? Saya sudah melakukan puasa sebaik-baiknya. Saya tidak pernah melewatkan salat malam. Saya sudah menjalankan zikir dengan setia. Saya juga sudah menghindari kemaksiatan dan dosa semampu saya. Saya sudah meninggalkan apa yang sudah dijelaskan Ustadz sebagai penghalang diijabahnya doa. Saya juga sudah berusaha berdoa pada saat dan tempat-tempat ijabah. Tapi saya masih juga belum mendapat pekerjaan. Utang saya masih juga belum terbayarkan. Dan anak saya masih juga sakit-sakitan,” kawan saya mengadu kepadaku.
Kepada kawanku itu, dan kepadamu, saya ingin bacakan kembali kisah Sa’ad ini. Saya juga ingin mengingatkan kamu pada masa kecilmu. Bukankah pernah kamu tidak henti-hentinya meradang, menangis, dan marah kepada ibumu, karena dilarang bermain dan dipaksa belajar. Kehendakmu bertentangan dengan kehendak ibumu. Sekarang setelah dewasa, kita masih anak kecil di hadapan Tuhan. Kita masih kecewa dan marah kepada Yang Mahakasih karena ia tidak memenuhi kehendak kita. Seperti dahulu ketika kita meragukan apakah Ibu betul sayang kepada kita, sekarang kita juga meragukan apakah Tuhan betul Mahakasih dan Mahasayang. Semuanya karena kehendak kita bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Kadang-kadang anak kecil lebih bijak dari kita. Pisahkan seorang bayi dari ibunya. Ia pasti menangis, makin lama makin keras. Tangisnya adalah panggilan agar ibunya datang. Jika tangisannya tidak berjawab, tangisnya akan terhenti. Ia menderita kesedihan. Jika ibunya tidak muncul juga, ia mulai menerima. Ia pasrah. Ia bukan saja berhenti menangis. Ia juga berhenti sedih. Ia akan mengalihkan perhatiaannya kepada siapa saja yang bisa menjadi pengganti ibunya. Dan kebahagiaannya pulih kembali.
Kearifan anak-anak itulah yang dihayati oleh Sa’ad. Seorang ibu menceritakan kepada saya tentang anaknya yang autistik. Ia sudah berobat ke mana-mana dan gagal. Ia tentu saja sudah berdoa dan berdoa. Ia bertanya kepadaku: “Ustadz, apa yang harus saya lakukan?” Saya menjawab: Apa yang tidak bisa kita ubah harus kita terima. Ada makna ruhaniah di balik dunia yang tampak tidak sempurna seperti yang kita inginkan. Ada spirituality di belakang imperfection. Ada kehendak Tuhan yang lebih indah di atas kehendak kita. Pasrahkan dirimu kepada keluasan kasihNya. Katakanlah: Tidak akan menimpa kita musibah kecuali yang sudah Allah tentukan bagi kita. Dialah Pelindung kita dan kepada Allah jua orang-orang beriman pasrah sepenuhnya (Al-Tawbah 51)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar