Kamis, 27 Januari 2011

Greenpeace berbohong


Inilah Bukti Kebohongan Greenpeace

inilah.com LSM asing Greenpeace dinilai sudah tak independen lagi. LSM asal Kanada itu dianggap memiliki agenda terselubung dalam kampanye lingkungannya.

Agenda terselubung itu diungkapkan oleh mantan direktur Greenpeace Patrick Moore pada 2008 dalam artikelnya berjudul Why I Left Greenpeacedi The Wall Street Journal.

Dalam buku Menguak Dusta Dusta Greenpeacekarya Syarief Hidayatullah, dituliskan, Patrick Moore mengatakan, Greenpeace lebih mengedepankan agenda politis daripada objektivitas ilmiah.

Contohnya, ketika Greenpeace mengampanyekan pemboikotan penggunaan bahan berbahaya DINP (Diisonyl Phtalate) dalam mainan anak-anak produksi Wal-Mart dan Toys 'R' Us di Eropa untuk pindah ke produk lainnya.

Setelah dilakukan penelitian ilmiah, ternyata bahan DINP tersebut tidak berbahaya. Patrick Moore berpendapat Greenpeace telah menakut-nakuti masyarakat lewat kampanyenya tersebut.
"Kampanye yang menakut-nakuti dapat mengalihkan publik dari masalah lingkungan yang sebenarnya," ujar Moore.

Mantan Direktur Greenpeace Patrick Moore mengungkapkan, salah satu kebohongan Greenpeace lainnya adalah saat kampanye larangan penggunaan bahan kimia klorin dalam produk rumah tangga.

Dalam buku Menguak Dusta Dusta Greenpeace karya Syarief Hidayatullah disebutkan bahwa Greenpeace mengampanyekan pemboikotan penggunaan klorin selama 20 tahun.
Padahal, berdasarkan penelitian ilmiah ternyata klorin membantu membasmi penyakit kolera yang terdapat dalam air minum.

"Greenpeace telah berkembang menjadi organisasi berpaham ekstrem yang dimotivasi agenda politik. Akhirnya kampanye anti klorin gagal," ujar Patrick.

Pada akhirnya, Patrick menilai, Greenpeace ada kecenderungan mengabaikan tujuan ilmiah hanya karena untuk mendukung agenda politik tertentu.

"Itulah yang mendorong saya untuk meninggalkan Greenpeace tahun 1986," tegas Patrick.
IPB Pastikan Data Greenpeace Tidak Akurat

Dua peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Yanto Santosa dan Prof. Bambang Hiro Saharjo menyatakan, data kerusakan hutan yang dimiliki Greenpeace tidak akurat.

Menurut Dr. Yanto yang melakukan penelitian sejak April-Juli 2010 bersama Prof. Bambang, tuduhan Greenpeace soal terjadinya deforestasi di Indonesia tidaklah tepat. Sebab Greenpeace memiliki definisi yang berbeda.

Deforestasi yang didefinisikan Greenpeace, menurut Yanto, adalah pengurangan areal berhutan. Sedangkan definisi dari pemerintah Indonesia adalah pengurangan kawasan hutan.

Menurut Yanto, kedua definisi ini jelas berbeda, karena yang dipakai Greenpeace mengandung pengertian pengurangan areal yang di dalamnya tumbuh pohon-pohon, baik alang-alang, perdu, dan lain-lain. Mereka tidak peduli, walaupun dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sudah ditetapkan bahwa areal tersebut sebagai kawasan pengembangan perkebunan.

Saya bersama Prof. Bambang Hiro Saharjo serta para peneliti dari Control Unions Certification (CUC) dan British Standards Institution (BSI) telah melakukan penelitian dengan menggunakan metode terukur, ilmiah dan mudah diverifikasi. Hasilnya, semua tuduhan yang dilontarkan Greenpeace tidak ada dasarnya, ungkap Yanto kepada wartawan, Senin (1/11/2010).

Yanto telah bertemu dan menjelaskan hasil temuannya kepada Greenpeace. Namun ironisnya, mereka tidak mau menerima dan menghormati hasil penelitian yang dilakukannya.

Bagi mereka, areal berhutan itu semua jenis lahan yang di dalamnya tumbuh pepohonan. Tidak peduli mengenai statusnya, apakah itu areal bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang ditinggalkan, sehingga menjadi areal yang ditumbuhi alang-alang atau lahan hutan konservasi dan hutan alami. Semuanya dipukul rata. Inilah yang melahirkan data Greenpeace tidak akurat. Bahkan kami menantang mereka untuk terjun ke hutan-hutan yang jadi obyek tuduhan. Namun mereka menolak. Patokan mereka hanya satelit, jelas Yanto.
Greenpeace Halangi Pengentasan Kemiskinan

Kampanye aktivis lingkungan Greenpeace dinilai menghalangi upaya Indonesia meningkatkan standar hidup dan mengurangi angka kemiskinan. Gerakan konservasi hutan menghambat ruang gerak industri kelapa sawit.
Industri kelapa sawit dan produk kertas di Indonesia telah melibatkan 20 juta orang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi perusahaan besar seperti Nestle dan Unilever telah terpengaruh Greenpeace untuk tidak menggunakan produk kelapa sawit dari Sinar Mas. Mereka pun sepakat mengancam membaikot produk Unilever

"Sebenarnya Greenpeace bertujuan menghalangi upaya yang telah ditempuh Indonesia untuk meningkatkan standar hidup dan mengurangi kemiskinan rakyat Indonesia," kata dikatakan mantan Menteri Senior Kabinet Malaysia, Tun Dr Lim Yeng Kaik, menanggapi kampanye aktifis lingkungan tersebut beberapa waktu lalu.

Laporan Greenpeace tentang Sinar Mas sangat standar dan hanya untuk memberi warna kampanye hitang meskipun dilengakipi dengan 100 referensi dan 300 catatan kaki. Padahal sebenarnya untuk menekan mitra bisnis agar menghindari transaksi dengan perusahaan Indenesia. Perusahaan adalah milik pribadi atau perusahaan keluarga. Itu adalah model yang paling utama pada berbagai perusahaan lokal yang telah berkembang dan berbasis di Asia.
Penurunan ekspansi produksi kelapa sawit akan berarti penurunan ketersediaan makanan pokok yang murah bagi masyarakat miskin di Asia dan Afrika.

Greenpeace mengklaim, apapun caranya, menghentikan konversi hutan lebih lanjut akan menyelamatkan spesies yang terancam punah. Namun itu tidak akan terjadi. Sebab hanya program konservasi yang sengaja diarahkan untuk menjaga kelestarian spesies dan didukung oleh perusahaan-perusahaan, yang akan mampu menyelamatkan spesies langka dari ancaman kepunahan. Namun justru Greenpeace sangat ingin memojokkan perusahaan-perusahaan itu.

Kenapa Greenpeace Tak Persoalkan Exxon Mobil?

Aktivitas LSM asing Greenpeace kembali dipersoalkan. Pengamat politik UI Bonie Hargens meminta Greenpeace agar meminta maaf kepada pemerintah Indonesia.
"Harusnya pemerintah yang tegas kepada Greenpeace. Tuntut mereka untuk minta maaf atas campur tangan persoalan dalam negeri. Sudah sekian kali Indonesia diinjak-injak," kata Bonie saat diskusi 'Menguak Dusta Greenpeade' di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (2/12/2010).
Kalau pemerintah tidak tegas, dikhawatirkan upaya intervensi asing tidak pernah berhenti. "Nggak bakal kapok-kapok. Mereka terus mengobok-obok kedaulatan bangsa kita," tandasnya.
Menurut Bonie, selama ini Greenpeace merugikan Indonesia karena menggunakan standar ganda. Karena hanya membatasi lahan sawit saja.
"Sementara soal Freeport dan Exxon tidak pernah mendapat kritik keras. Ini ada apa," tukasnya.
Ia menyebut Greenpeace sebagai srigala berbulu domba yang memakai postulat moral dan demokrasi untuk membungkus kepentingan ekonomi dan politik terselubung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar